TEORI BELAJAR SOSIAL DAN TEORI BELAJAR GAGNE (BDP)



BAB I
PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang
Pendidik yang pertama dan yang paling utama adalah orang tua berupaya maksimal memberikan yang terbaik terhadap perkembangan anak, sehingga dapat bertumbuh mengikuti norma-norma kehidupan yang tidak bertentangan dengan ajaran agama norma-norma kesusilaan, harapan maupun kaidah-kaidah hukum. Dalam tahap proses belajar yang di utamakan adalah kematangan terhadapa diri anak, karena bagaimanapun juga bahwa hasil yang di capai tidak akan memberikan hasil yang memuaskan. Belajar merupakan pembahasan menarik yang menjadi pusat perhatian para ahli psikologi pendidikan untuk mengungkap rahasia dibalik belajar tersebut. Kaitannya dengan hal tersebut, beberapa ahli psikologi dari berbagai aliran mendefinisikan istilah belajar, seperti Kimble (1961) mendefinisikan belajar sebagai perubahan yang relatif permanen di dalam behavioral potentiality (potensi behavioral) yang terjadi sebagai akibat dari praktik yang diperkuat.
Definisi tersebut di atas tidak serta merta diterima secara universal, beberapa ahli psikologi tidak menerima definisi tersebut. Terlepas dari perbedaan pendefinisian istilah belajar, hal menarik yang penting untuk diketahui adalah teori belajar dari beberapa tokoh (ahli) yang menjadi sumber untuk pengembangan belajar maupun pembelajaran di dunia pendidikan. Pembelajaran merupakan kegiatan interaktif dan timbal balik antara pendidik dan peserta didik (katakan sebagai siswa). Untuk mencapai kompetensi yang diharapkan maka seorang pendidik (katakana sebagai guru) seharusnya menyiapkan berbagai kebutuhan sebalum mengajar termasuk kebutuhan setelah mengajar. Merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran merupakan kegiatan wajib yang dilakukan guru sehingga perlu untuk mempelajari teori-teori belajar walaupun implikasinya tak semanis teorinya. Dengan demikian guru dapat berkreasi dan berinovasi pada kelasnya dengan teori yang mendasari proses pembelajaran tersebut.
Terdapat banyak teori belajar yang mendasari proses pembelajaran. Beberapa diantaranya yaitu teori Ausubel, teori Gagne dan teori Bandura. Teori belajar Ausubel secara umum memaparkan bahwa pembelajaran harus bermakna yang terbagi dalam dua dimensi yaitu penyampaian informasi dan penemuan. Teori belajar Gagne yang menyatakan bahwa belajar dipengaruhi oleh faktor dari luar diri dan faktor dalam diri dan keduanya saling berinteraksi, serta teori belajar Bandura dapat dikatakan sebagai social learning (belajar sosial), anak belajar dari meniru hal-hal yang dilakukan oleh orang lain sehingga lingkungan adalah faktor penting yang mempengaruhi perilaku, meskipun proses kognitif juga tidak kalah pentingnya manusia memiliki kemampuan untuk mengendalikan polanya sendiri. Dalam makalah ini akan dibahas tentang Teori Belajar Sosial dan Teori Belajar Gagne

1.2    Rumusan Masalah
1.2.1   Apakah pengertian dari belajar ?
1.2.2   Bagaimanakah teori-teori pembelajaran menurut Gagne ?
1.2.3   Bagaimanakah teori-teori pembelajaran menurut Bandura (Belajar Sosial) ?
                                                                                                                  
1.3    Tujuan
Tujuan dari pembuatan maklah ini yaitu, untuk mengetahui:
1.3.1        Pengertian dari belajar
1.3.2        Teori-teori pembelajaran menurut Gagne
1.3.3        teori-teori pembelajaran menurut Bandura (Belajar Sosial)







BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Belajar
Belajar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan berperan penting dalam pembentukan pribadi dan perilaku individu. Nana Syaodih Sukmadinata (2005) menyebutkan bahwa sebagian terbesar perkembangan individu berlangsung melalui kegiatan belajar. Di bawah ini disampaikan tentang pengertian belajar dari para ahli : 
Moh. Surya (1997) : “belajar dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan perilaku baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya”. 
Witherington (1952) : “belajar merupakan perubahan dalam kepribadian yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respons yang baru berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan dan kecakapan”. 
Crow & Crow dan (1958) : “ belajar adalah diperolehnya kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan dan sikap baru”. 
Hilgard (1962) : “belajar adalah proses dimana suatu perilaku muncul perilaku muncul atau berubah karena adanya respons terhadap sesuatu situasi” 
Di Vesta dan Thompson (1970) : “ belajar adalah perubahan perilaku yang relatif menetap sebagai hasil dari pengalaman”. 
Gage & Berliner : “belajar adalah suatu proses perubahan perilaku yang yang muncul karena pengalaman”
Ciri utama belajar, yaitu: proses, perilaku, dan pengalaman, dengan pengertian sebagai berikut:
1)    Proses
Belajar adalah proses mental dan emosional atau proses berpikir dan merasakan. Seseorang dikatakan belajar apabila pikiran dan perasaannya aktif. Aktifitas pikiran dan perasaan itu sendiri tidak dapat diamati orang lain, akan tetapi terasa oleh yang bersangkutan yang  dapat diamati guru adalah manifestasinya, yaitu kegiatan siswa sebagai akibat dari adanya aktifitas pikiran dan perasaan pada diri siswa tersebut.
2)    Perubahan Perilaku
Hasil belajar berupa perubahan perilaku atau tingkah laku seseorang yang belajar akan berubah atau bertambah perilakunya, baik yang berupa pengetahuan, ketrampilan, atau penguasaan nilai-nilai sikap.
3)    Pengalaman
Belajar adalah mengalami, dalam arti belajar terjadi di dalam interaksi antara individu dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial. Lingkungan fisik, misalnya :buku, alat peraga, alam sekitar. Lingkungan sosial, misalnya: guru, siswa pustakawan, dan Kepala Sekolah.
Belajar bisa melalui pengalaman langsung maupun melalui pengalaman tidak langsung. Belajar melalui pengalaman langsung, misalnya siswa belajar dengan melakukan sendiri dan pengalaman sendiri. Belajar melalui pengalaman tidak langsung, misalnya mengatahui dari membaca buku, mendengarkan penjelasan guru. Belajar dengan melalui pengalaman langsung hasilnya akan lebih baik karena siswa lebih memahami, lebih menguasai pelajaran tersebut, bahkan pelajaran terasa oleh siswa lebih bermakna.

2.2    Teori Belajar Sosial
Teori Pembelajaran Sosial merupakan perluasan dari teori belajar perilaku yang tradisional (behavioristik). Dalam pandangan belajar social “ manusia “ itu tidak didorong oleh kekuatan – kekuatan dari dalam dan juga tidak dipengaruhi oleh stimulus – stimulus lingkungan. Teori belajar sosial menekankan bahwa lingkungan – lingkungan yang dihadapkan pada seseorang secara kebetulan Inti dari pembelajaran social adalah pemodelan (modelling), dan pemodelan ini merupakan salah satu langkah paling penting dalam pembelajaran terpadu.
Ada dua jenis pembelajaran melalui pengamatan. Pertama pembelajaran melalui pengamatan dapat terjadi melalui kondisi yang dialami orang lain. Kedua, pembelajaran melalui pengamatan meniru perilaku model meskipun model itu tidak mendapatkan penguatan positif atau penguatan negatif saat mengamati itu sedang memperhatikan model itu mendemonstrasikan sesuatu yang ingin dipelajari oleh pengamat tersebut dan mengharapkan mendapat pujian atau penguatan apabila menguasai secara tuntas apa yang dipelajari itu.
Teori belajar sosial dikenalkan oleh Albert Bandura, yang mana konsep dari teori ini menekankan pada komponen kognitif dari pikiran, pemahaman dan evaluasi. Menurut Bandura, orang belajar melalui pengalaman langsung atau pengamatan (mencontoh model). Orang belajar dari apa yang ia baca, dengar, dan lihat di media, dan juga dari orang lain dan lingkungannya.
Albert Bandura mengemukakan bahwa seorang individu belajar banyak tentang perilaku melalui peniruan/modeling, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement) sekalipun yang diterimanya. Proses belajar semacam ini disebut “observational learning” atau pembelajaran melalui pengamatan. Albert Bandura (1971), mengemukakan bahwa teori pembelajaran sosial membahas tentang (1) Bagaimana perilaku kita dipengaruhi oleh lingkungan melalui penguat (reinforcement) dan observational learning, (2) Cara pandang dan cara pikir yang kita miliki terhadap informasi, (3) Begitu pula sebaliknya, bagaimana perilaku kita mempengaruhi lingkungan kita dan menciptakan penguat (reinforcement) dan observational opportunity.
Teori belajar sosial menekankan observational learning sebagai proses pembelajaran, yang mana bentuk pembelajarannya adalah seseorang mempelajari perilaku dengan mengamati secara sistematis imbalan dan hukuman yang diberikan kepada orang lain.
Dalam observational learning terdapat empat tahap belajar dari proses pengamatan atau modeling Proses yang terjadi dalam observational learning tersebut antara lain :
  1. Atensi, dalam tahapan ini seseorang harus memberikan perhatian terhadap model dengan cermat.
  2. Retensi, tahapan ini adalah tahapan mengingat kembali perilaku yang ditampilkan oleh model yang diamati maka seseorang perlu memiliki ingatan yang bagus terhadap perilaku model.
  3. Reproduksi, dalam tahapan ini seseorang yang telah memberikan perhatian untuk mengamati dengan cermat dan mengingat kembali perilaku yang telah ditampilkan oleh modelnya maka berikutnya adalah mencoba menirukan atau mempraktekkan perilaku yang dilakukan oleh model.
  4. Motivasional, tahapan berikutnya adalah seseorang harus memiliki motivasi untuk belajar dari model.
Menurut Skinner dan Bandura (dalam Haditono, Knoers, dan Monks 1992) mempunyai pandangan yang empiris dan mendasarkan diri pada teori belajar untuk menjelaskan perkembangan bahasa. Pandangan ini, bertitik tolak pada pendapat bahwa anak dilahirkan dengan tidak membawa kemampuan apapun. Anak masih harus banyak belajar, termasuk juga belajar berbahasa yang dilakukannya melalui imitasi, belajar model, dan belajar dengan reinforcement (penguatan, bala bantuan).
Bandura mencoba menerangkannya dari sudut pandang teori belajar sosial. Ia berpendapat bahwa anak belajar bahasa menirukan suatu model. Tingkah laku imitasi ini, tidak mesti harus menerima reinforcememnt sebab belajar model dalam prinsipnya lepas dari reinforcement luas.
Teori belajar sosial berpangkal pada dalil bahwa tingkah laku manusia sebagian besar berpangkal pada dalili bahwa tingkah laku manusia sebagian besar adalah hasil pemerolehan, dan bahwa prinsip-prinsip belajar adalah cukup untuk menjelaskan bagaimana tingkah laku berkembang dan menetap. Akan tetapi, teori-teori sebelumnya selain kurang memberi perhatian pada konteks sosial dimana tingkah laku ini muncul, juga kurang menyadari fakta bahwa banyak peristiwa belajar yang penting terjadi dengan perantaraan orang lain. Artinya, sambil mengamati tingkah laku orang lain, individu-individu belajar mengimitasi atau meniru tingkah laku tersebut atau dalam hal tertentu menjadikan orang lain model bagi dirinya.
Sosial adalah interaksi atau hubungan yang dilakukan dengan orang banyak yang ditemukannya disekelilingnya dalam menjalankan kehidupan individunya sehari-hari. Sosial membantu tiap anak untuk merasa diterima didalam kelompok, membantu anak belajar berkomunikasi dan bergaul dengan orang lain, mendorong empati dan saling menghargai terhadap anak-anak maupun orang dewasa. Lingkungan pembelajaran yang paling utama berasal dari keluarga, sekolah, dan teman sebaya. Yang akan dibahas kali ini adalah lingkungan pembelajaran yang berasal dari teman sebaya, karena melalui teman sebaya, mendorong anak untuk meningkatkan kemampuannya, sekaligus memberikan dukungan sosial kepada anak berupa perhatian, persetujuan, penghargaan sekaligus hukuman, model perilaku yang akan ditiru oleh anak tersebut.
Atkinson Hilgard (1997), mengemukakan pendapatnya bahwa, anak akan mempelajari sebagian besar keterampilan sosialnya dari interaksi dengan sesamanya. Mereka akan belajar memberi memutuskan membagi pengalamannya bersama-sama. Jika dilihat dari penambahan usia anak, maka permainan menguasi atau permainan yang menampilkan keunggulan akan berkembang menjadi permainan yang intelektual, seperti bermain dengan kata-kata dan ide. Memasuki usia 2 tahun, anaka tidak mampu bermain pura-pura dan meniru tingkah laku yang dilihatnya beberapa waktu sebelumnya, bahkan beberapa hari sebelumnya dengan imajinasi dan bahasa sesungguhnya yang merupakan cara berpikir dan bermain pada anak. Aspek-aspek sosial anak yang akan mulai terlihat adalah anak akan mulai bermain sendiri (soliter), anak mulai bermain parallel (yaitu berada didekat teman sekelas tetapi tanpa interaksi), anak mulai bermain sosial (mulai ada interaksi dengan teman didekatnya ), anak mulai bermain asosiatif (secara berpasangan), anak mulai bermain kooperatif (dalam kelompok-kelompok kecil atau besar, ada peran masing-masing) dan anak mulai bermain kolaboratif (bersama orang tua, guru, asisten atau orang dewasa lain).
Membantu tiap anak agar merasa diterima didalam kelompok, mengembangkan kompetensi social, membantu anak belajar berkomunikasi dan bergaul dengan orang lain, mengembangkan empati (merasakan perasaan orang lain) dan (saling) menghargai diri dan lingkungannya (sebaya, orang dewasa, aturan, barang dan alam). Sikap sosial pada anak yang mengikuti pendidikan apresiasi seni dapat tercermin pola pikir, cara pandang, perasaan dan tingkah laku atau tindakan anak pada objek atau lingkungan sosial yang ada. Dalam hal ini dapat dilihat dari aspek kognitif Subjek yang memiliki pengetahuan, pengertian, dan pemahaman bahwa dalam kehidupan sehari-hari terdapat bermacam-macam perbedaan, namun tetap saling menghormati dan menerima. Pada aspek afektif dan aspek konatif yang dimiliki oleh Subjek menunjukkan adanya perasaan senang dapat mengenal, berteman dengan siapapun serta adanya kepedulian terhadap sesama. Subjek juga bersedia memberikan pertolongan kepada orang lain tanpa memandang segala perbedaan seperti beda suku, beda agama, beda budaya , dan lain sebagainya.
Pembentukan sikap sosial pada anak yang mengikuti Pendidikan Apresiasi Seni, dipengaruhi oleh faktor orang tua dan guru, faktor kebudayaan di tempat tinggal masing-masing, dan faktor lembaga pendidikan dan ajaran agama. Masing-masingnya mengarahkan anak mempunyai sikap sosial yang baik melalui penanaman pengetahuan dan contoh, adanya pembiasaan bersosialisasi dengan orang lain baik yang memiliki kesamaan suku, agama, budaya dan lainnya maupun yang tidak. Serta pemberian penjelasan dari sekolah dan ajaran agama tentang berkomunikasi, berhubungan dengan sesama manusia, termasuk didalamnya didukung oleh kegiatan Pendidikan Apresiasi Seni yang diikuti anak di sekolahnya.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Sosial
Menurut Prasetyo dalam bukunya Psikologi Pendidikan mengemukakan bahwa: “Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap sosial adalah sebagai berikut: (a) Faktor Indogen: faktor pada diri anak itu sendiri seperti faktor imitasi, sugesti, identifikasi, simpati dan (b) Faktor Eksogen; faktor yang berasal dari luar seperti lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolah” (Prasetyo, 1997 : 96).

Dari pendapat ahli tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi sikap sosial adalah sebagai berikut: (a) Faktor Indogen; faktor sugesti, identifikasi, dan imitasi  (b) Faktor Eksogen; faktor yang berasal dari luar seperti lingkunga keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan sekolah. Berikut ini akan dijelaskan masing-masing faktor yang mempengaruhi sikap sosial tersebut.
a.      Faktor Indogen
Faktor indogen adalah faktor yang mempengaruhi sikap sosial anak yang datang dari dalam dirinya sendiri. Dalam hal ini dapat dibedakan menjadi tiga faktor yaitu: a) faktor sugesti,  b) faktor identifikasi, dan c) faktor imitasi. Berikut ini akan dijelaskan secara singkat masing-masing faktor tersebut.
1.         Faktor Sugesti
Dalam buku Psikologi Kepribadian dijelaskan bahwa: “Sugesti adalah proses seorang individu didalam berusaha menerima tingkah laku maupun prilaku orang lain tanpa adanya kritikan terlebih dahulu” (Nawawi, 2000 : 72).
Dari pendapat ahli tersebut diatas, dapat dikatakan sugesti dapat mempengaruhi sikap sosial seseorang sedangkan anak yang tidak mampu bersugesti cenderung untuk tidak mau menerima keadaan orang lain, seperti tidak merasakan penderitaan orang lain, tidak bisa bekerjasama dengan orang lain dan sebagainya.
2.         Faktor Identifikasi
Identifikasi dilakukan kepada orang lain yang dianggapnya ideal atau sesuai dengan dirinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Nawawi dalam bukunya Interaksi Sosial dijelaskan bahwa: “Anak yang mengidentifikasikan dirinya seperti orang lain akan mempengaruhi perkembangan sikap sosial seseorang, seperti anak cepat merasakan keadaan atau permasalahan orang lain yang mengalami suatu problema (permasalahan)” (Nawawi, 2000 : 82).
Menurut pendapat ahli tersebut diatas jelaslah bahwa seseorang yang berusaha mengidentifikasikan diri dengan keadaan orang lain akan lebih mampu merasakan keadaan orang lain, daripada seorang anak yang tidak mau mengidentifikasikan dirinya dengan orang lain yang cenderung mampu merasakan keadaan orang lain.
3.      Faktor Imitasi
Imitasi dapat mendorong seseorang untuk berbuat baik. Pada buku Psikologi Pendidikan dijelaskan bahwa: “Sikap seseorang yang berusaha meniru bagaimana orang yang merasakan keadaan orang lain maka ia berusaha meniru bagaimana orang yang merasakan sakit, sedih, gembira, dan sebagainya. Hal ini penting didalam membentuk rasa kepedulian sosial seseorang” (Purwanto, 1999 : 65). Sedangkan ahli lain mengatakan pula bahwa: “Anak-anak yang meniru keadaan orang lain, akan cenderung mampu bersikap sosial, daripada yang tidak mampu meniru keadaan orang lain” (Nawawi, 2000 : 42). 
Dari kedua pendapat tersebut diatas, jelaslah bahwa imitasi dapat mempengaruhi sikap sosial seseorang, dimana seseorang yang berusaha meniru (imitasi) keadaan orang lain akan lebih peka dalam merasakan keadaan orang lain, apakah orang sekitarnya itu dalam keadaan susah, senang ataupun gembira.
b.     Faktor Eksogen
Faktor eksogen adalah faktor yang mempengaruhi sikap sosial anak dari luar dirinya sendiri. Dalam hal ini menurut Soetjipto dan Sjafioedin dalam bukunya Metodologi Ilmu Pengetahuan Sosial dijelaskan bahwa: “Ada tiga faktor yang mempengaruhi sikap sosial anak yaitu: ” a) faktor lingkungan keluarga, b) faktor lingkungan sekolah dan c) faktor lingkungan masyarakat” (Soetjipto dan Sjafiodin, 1994 : 22) . Berikut ini akan dijelaskan secara singkat masing-masing faktor tersebut.
1.    Faktor Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan tumpuan dari setiap anak,  keluarga   merupakan lingkungan yang pertama dari anak dari keluarga pulalah anak menerima pendidikan karenanya keluarga mempunyai peranan yang sangat penting didalam perkembangan anak. Keluarga yang baik akan memberikan pengaruh yang baik terhadap perkembangan anak, demikian pula sebaliknya. Dalam buku Psikologi Pendidikan dijelaskan bahwa: “Anak yang tidak mendapatkan kasih sayang, perhatian, keluarga yang tidak harmonis, yang tidak memanjakan anak-anaknya dapat mem-pengaruhi sikap sosial bagi anak-anaknya” (Purwanto, 1999 : 89).
Dari pendapat tersebut, jelaslah bahwa keharmonisan dalam keluarga, anak yang mendapatkan kasih sayang serta keluarga yang selalu memberikan perhatian kepada anak-anaknya merupakan peluang yang cukup besar didalam mempengaruhi timbulnya sikap sosial bagi anak-anaknya.
2.    Faktor Lingkungan Sekolah
Dalam bukunya Psikologi Sosial dijelaskan bahwa: “Keadaan sekolah seperti cara penyajian materi yang kurang tepat serta antara guru dengan murid mempunyai hubungan yang kurang baik akan menimbulkan gejala kejiwaan yang kurang baik bagi siswa yang akhirnya mempengaruhi sikap sosial seorang siswa” (Ahmadi, 1996 : 65). Selanjutnaya dalam buku Interaksi Sosial dijelaskan bahwa: “Ada beberapa faktor lain di sekolah yang dapat mempengaruhi sikap sosial siswa yaitu tidak adanya disiplin atau peraturan sekolah yang mengikat siswa untuk tidak berbuat hal-hal yang negatif ataupun tindakan yang menyimpang” (Nawawi, 2000 : 66).
Dari kedua pendapat ahli diatas, maka faktor lingkungan sekolah yang dapat mempengaruhi sikap sosial siswa adalah cara penyajian materi, prilaku maupun sikap dari para gurunya, tidak adanya disiplin atau peraturan-peraturan sekolah yang betul-betul mengikat siswa.
3.    Faktor Lingkungan Masyarakat
Lingkungan masyarakat merupakan tempat berpijak para remaja sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa melepaskan diri dari masyarakat. Anak dibentuk oleh lingkungan masyarakat dan dia juga sebagai anggota masyarakat, kalau lingkungan sekitarnya itu baik akan berarti sangat membantu didalam pembentukkan keperibadian dan mental seorang anak, begitu pula sebaliknya kalau lingkungan sekitarnya kurang baik akan berpengaruh kurang baik  pula terhadap sikap sosial  seorang anak, seperti tidak mau merasakan keadaan orang lain. Dalam buku Psikologi Sosial dijelaskan bahwa: “Lingkungan masyarakat yang bisa mempengaruhi timbulnya berbagai sikap sosial pada anak seperti cara bergaul yang kurang baik, cara menarik kawan-kawannya dan sebaginya” (Sarwono, 1997 : 59). Selanjutnya dalam buku Interaksi Sosial dijelaskan bahwa: “Pergaulan sehari-hari yang kurang baik bisa mendatangkan sikap sosial yang kurang baik, begitu sebaliknya dimana suatu lingkungan masyarakat yang baik akan mendatangkan sikap sosial yang baik pula terhadap anak” (Nawawi, 2000 : 45).Dengan demikian dari uraian dan pendapat ahli tersebut diatas, maka lingkungan masyarakat sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukkan sikap sosial seorang anak, begitu pula sebaliknya lingkungan masyarakat yang kurang baik akan menimbulkan sikap sosial yang kurang baik pula terhadap anak.

2.3  Toeri Belajar Gagne
A.  Teori Belajar Menurut Robert M. Gagne 
Gagne berpendapat bahwa belajar dipengaruhi oleh pertumbuhan dan lingkungan, namun yang paling besar pengaruhnya adalah lingkungan individu seseorang. Bagi Gagne, belajar tidak dapat didefinisikan dengan mudah karena belajar itu bersifat kompleks. Dalam pernyataan tersebut, dinyatakan bahwa hasil belajar akan mengakibatkan perubahan pada seseorang yang berupa perubahan kemampuan, perubahan sikap, perubahan minat atau nilai pada seseorang. Perubahan tersebut bersifat menetap meskipun hanya sementara.
Menurut Gagne, ada tiga elemen belajar, yaitu individu yang belajar, situasi stimulus, dan responden yang melaksanakan aksi sebagai akibat dari stimulasi

B.  Sistematika ”Delapan Tipe Belajar”
Menurut Robert M. Gagne, ada 8 tipe belajar, yaitu:
1.   Tipe belajar tanda (Signal learning)
Belajar dengan cara ini dapat dikatakan sama dengan apa yang dikemukakan oleh Pavlov. Semua jawaban/respons menurut kepada tanda/sinyal.
2.   Tipe belajar rangsang-reaksi (Stimulus-response learning)
Tipe ini hampir serupa dengan tipe satu, namun pada tipe ini, timbulnya respons juga karena adanya dorongan yang datang dari dalam serta adanya penguatan sehingga seseorang mau melakukan sesuatu secara berulang-ulang.
3.   Tipe belajar berangkai (Chaining Learning)
Pada tahap ini terjadi serangkaian hubungan stimulus-respons, maksudnya adalah bahwa suatu respons­­­ pada gilirannya akan menjadi stimulus baru dan selanjutnya akan menimbulkan respons baru.
4.   Tipe belajar asosiasi verbal (Verbal association learning)
Tipe ini berhubungan dengan penggunaan bahasa, dimana hasil belajarnya yaitu memberikan reaksi verbal pada stimulus/perangsang.
5.   Tipe belajar membedakan (Discrimination learning)
Hasil dari tipe belajar ini adalah kemampuan untuk membeda-bedakan antar objek-objek yang terdapat dalam lingkungan fisik.
6.   Tipe belajar konsep (Concept Learning)
Belajar pada tipe ini terutama dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman atau pengertian tentang suatu yang mendasar.
7.   Tipe belajar kaidah (RuleLearning)
Tipe belajar ini menghasilkan suatu kaidah yang terdiri atas penggabungan beberapa konsep.
8.   Tipe belajar pemecahan masalah (Problem solving)
Tipe belajar ini menghasilkan suatu prinsip yang dapat digunakan untuk memecahkan suatu permasalahan.
C.  Sistematika “Lima Jenis Belajar”
Sistematika ini tidak jauh berbeda dengan sistematika delapan tipe belajar, dimana isinya merupakan bentuk penyederhanaan dari sistematika delapan tipe belajar.
Kelima kategori hasil belajar tersebut adalah informasi verbal, kemahiran intelektual, pengaturan kegiatan kognitif, keterampilan motorik, dan sikap.
1.    Informasi verbal (Verbal information)
Merupakan pengetahuan yang dimiliki seseorang dan dapat diungkapkan dalam bentuk bahasa, lisan, dan tertulis.
2.    Kemahiran intelektual (Intellectual skill)
Yang dimaksud adalah kemampuan untuk berhubungan dengan lingkungan hidup dan dirinya sendiri dalam bentuk suatu representasi, khususnya konsep dan berbagai lambang/simbol (huruf, angka, kata, dan gambar).
3.    Pengaturan kegiatan kognitif (Cognitive strategy)
Merupakan suatu cara seseorang untuk menangani aktivitas belajar dan berpikirnya sendiri, sehingga ia menggunakan cara yang sama apabila menemukan kesulitan yang sama.
4.    Keterampilan motorik (Motor skill)
Adalah kemampuan seseorang dalam melakukan suatu rangkaian gerak-gerik jasmani dalam urutan tertentu, dengan mengadakan koordinasi antara gerak-gerik berbagai anggota badan secara terpadu.
5.    Sikap (Attitude)
Merupakan kemampuan seseorang yang sangat berperan sekali dalam mengambil tindakan, apakah baik atau buruk bagi dirinya sendiri.

D.  Fase-Fase Belajar
Fase-fase belajar ini berlaku bagi semua tipe belajar. Menurut Gagne, ada 4 buah fase dalam proses belajar, yaitu:
1.      Fase penerimaan (apprehending phase)
Pada fase ini, rangsang diterima oleh seseorang yang belajar. Ini ada beberapa langkah.
2.      Fase penguasaan (Acquisition phase)
Pada tahap ini akan dapat dilihat apakah seseorang telah belajar atau belum
3.      Fase pengendapan (Storage phase)
Sesuatu yang telah dimiliki akan disimpan agar tidak cepat hilang sehingga dapat digunakan bila diperlukan.
4.      Fase pengungkapan kembali (Retrieval phase)
Apa yang telah dipelajari, dimiliki, dan disimpan (dsalam ingatan) dengan maksud untuk digunakan (memecahkan masalah) bila diperlukan.

E.  Implikasi Teori Gagne dalam Pembelajaran
1.   Mengontrol perhatian siswa.
2.   Memberikan informasi kepada siswa mengenai hasil belajar yang diharapkan guru.
3.   Merangsang dan mengingatkan kembali  kemampuan-kemampuan siswa.
4.   Penyajian stimuli yang tak bisa dipisah-pisahkan dari tugas belajar.
5.   Memberikan bimbingan belajar.
6.   Memberikan umpan balik.
7.   Memberikan kesempatan pada siswa untuk memeriksa hasil belajar yang telah dicapainya.
8.   Memberikan kesempatan untuk berlangsungnya transfer of learning.
9.   Memberikan kesempatan untuk melakukahn praktek dan penggunaan kemampuan yang baru diberikan.
Menurut Gagne ada empat komponen penting dalam proses pembelajaran, yaitu Fase-fase pembelajaran, Hirarki hasil belajar, Kondisi atau tipe pembelajaran, Kejadian-kejadian instruksional.
1.         Fase-fase Pembelajaran
Gagne membagi proses belajar berlangsung dalam empat fase utama, yaitu: (a) receiving the stimulus situation (apprehending), (b) stage of acquisition, (c) storage, (d) retrieval.
Fase Receiving the stimulus situation (apprehending), merupakan fase seseorang memperhatikan stimulus tertentu kemudian menangkap artinya dan memahami stimulus tersebut untuk kemudian ditafsirkan sendiri dengan berbagai cara. Misalnya “golden eye” bisa ditafsirkan sebagai jembatan di amerika atau sebuah judul film. Stimulus itu dapat spontan diterima atau seorang Guru dapat memberikan stimulus agar siswa memperhatikan apa yang akan diucapkan.
Fase Stage of Acquition, pada fase ini seseorang akan dapat memperoleh suatu kesanggupan yang belum diperoleh sebelumnya dengan menghubung-hubungkan informasi yang diterima dengan pengetahuan sebelumnya. Atau boleh dikatakan pada fase ini siswa membentuk asosiasi-asosiasi antara informasi baru dan informasi lama.
Fase storage/retensi adalah fase penyimpanan informasi, ada informasi yang disimpan dalam jangka pendek ada yang dalam jangka panjang, melalui pengulangan informasi dalam memori jangka pendek dapat dipindahkan ke memori jangka panjang.
Fase Retrieval/Recall, adalah fase mengingat kembali atau memanggil kembali informasi yang ada dalam memori. Kadang-kadang dapat saja informasi itu hilang dalam memori atau kehilangan hubungan dengan memori jangka panjang. Untuk lebih daya ingat maka perlu informasi yang baru dan yang lama disusun secara terorganisasi, diatur dengan baik atas pengelompokan-pengelompokan menjadi katagori, konsep sehingga lebih mudah dipanggil.
Kemudian ada fase-fase lain yang dianggap tidak utama, yaitu (e) fase motivasi sebelum pelajaran dimulai guru memberikan motivasi kepada siswa untuk belajar, (f) fase generalisasi adalah fase transfer informasi, pada situasi-situasi baru, agar lebih meningkatkan daya ingat, siswa dapat diminta mengaplikasikan sesuatu dengan informasi baru tersebut. (g) Fase penampilan adalah fase dimana siswa harus memperlihatkan sesuatu penampilan yang nampak setelah mempelajari sesuatu, seperti mempelajari struktur kalimat dalam bahasa mereka dapat membuat kalimat yang benar, dan (h) fase umpan balik, siswa harus diberikan umpan balik dari apa yang telah ditampilkan (reinforcement).
2.         Hirarki Hasil Belajar
Setelah selesai belajar, penampilan yang dapat diamati sebagai hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan (capabilities). Kemampuan-kemampuan tersebut dibedakan berdasarkan atas kondisi mencapai kemampuan tersebut berbeda-beda. Kemampuan (kapabilitas) sebagai hasil belajar yang diberikan Gagne yaitu  Verbal Information (informasi verbal) dan Intellectual skills (keterampilan intelektual).
Invormasi verbal adalah kemampuan siswa untuk memiliki keterampilan mengingat informasi verbal, ini dapat dicontohkan kemampuan siswa mengetahui benda-benda, huruf alphabet dan yang lainnya yang bersifat verbal. Informasi verbal meliputi : Cap Verbal : Kata yang dimiliki seseorang untuk menunjukkan pada obyek-obyek yang dihadapi, misalnya kata ”kursi” untuk benda tertentu Data/fakta : Kenyataa yang diketahui, misalnya ”Negara Indonesia dilalui khatulistiwa. Jadi yang memiliki pengetahuan tertentu, berkemampuan untuk menuangkan pengetahuan itu dalam bentuk bahasa yang memadahi, sehingga dapat dikomunikasikan pula kepada orang lain. Mempunyai informasi verbal memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, karena tanpa sejumlah pengetahuan orang tidak dapat mengatur kehidupannya sehari-hari dan tidak dapat berkomunikasi dengan orang lain secara berarti. Misalnya, ibu rumah tangga memiliki seperangkat pengetahuan tentang mengurus kerumahatanggaan, seorang hakim memiliki pengetahuan tentang memimpin sidang. Makin luas pengetahuan seseorang tentang bidang studi yang menjadi spesialisasinya, makin besar kemungkinan dia berkembang menjadi seorang ahli dalam bidang tersebut
Intellectual skills (keterampilan intelektual). Keterampilan intelektual merupakan penampilan yang ditunjukkan siswa tentang operasi-operasi intelektual yang dapat dilakukannya. Keterampilan intelektual memungkinkan seseorang berinteraksi dengan lingkungannya melalui pengunaan simbol-simbol atau gagasan-gagasan. Yang membedakan keterampilan intelektual pada bidang tertentu adalah terletak pada tingkat kompleksitasnya. Keterampilan intelek bisa dijelaskan sebagai sesuatu yang mencakup "struktur pendidikan formal yang bersifat dasar pada waktu yang sama bersifat paling luas jangkauannya. Akan tetapi, tidak seperti halnya informasi berupa fakta, ketrapilan intelektual tidak dapat dipelajari hanya dengan mendengarkannya atau melihatnya. Beda pokok antara informasi dan ketrampilan intelek ialah beda antara mengetahui bahwa dan mengetahui bagaimana. Siswa belajar bagaimana menjumlahkan bilangan bulat, bagaimana membuat agar kata kerja cocok dengan pokok kalimat dan ketrampilan-ketrampilan lain yang tidak terbilang banyaknya. Kategori kemahiran intelektual terbagi atas empat subkemampuan, yaitu :
a.    Diskriminasi Jamak
Berdasarkan pengamatan yang cermat terhadap berbagai obyek, orang mampu membedakan antara obyek yang satu dengan obyek yang lain. Contoh; Menyebutkan merk mobil-mobil yang lewat di jalan.
b.    Konsep
Suatu arti yang mewakili sejumlah obyek yang mempunyai ciri-ciri yang sama.
c.    Kaidah
Bila dua konsep atau lebih dihubungkan satu satu sama lain, terbentuk suatu ketentuan yang mempresentasikan suatu keteraturan
d.   Prinsip
Dalam prinsip telah terjadi kombinasi dari berbagai kaidah, sehingga terbentuk suatu kaidah yang bertaraf lebih tinggi dan lebih kompleks.
Gagne mengemukakan lima macam hasil belajar, tiga diantaranya bersifat kognitif, satu bersifat afektif, dan satu lagi bersifat psikomotorig. Penampilan-penampilan yang diamati sebagai hasil-hasil dasar disebut kemampuan-kemampuan atau kapabeliti.
Menurut Gagne ada lima kemampuan-kemampuan, yaitu kemampuan pertama disebut kemempuan-kemampuan intelektual, karena keterampilan itu merupakan penampilan-penampilan yang ditunjukkan oleh siswa tentang operasi-operasi intelekual yang dapat dilakukannya.  Kemampuan kedua meliputi penggunaan strategi-strategi kognitif, nomor tiga, berhubungan dengan sikap atau memungkinkan sekumpulan sikap-sikap yang dapat ditunjukkan oleh prilaku yang mencerminkan pilihan tindakan terhadap kegiatan-kegiatan sains. Nomor empat dari hasil belajar gagne ialah informasi verbal, dan yang terakhir adalah keterampilan-keterampilan motorik
1.       Cognitive strategies (strategi kognitif)
Strategi Kognitif merupakan suatu macam keterampilan intelektual khusus yang mempunyai kepentingan tertentu bagi belajar dan berpikir. Proses kontrol yang digunakan siswa untuk memilih dan mengubah cara-cara memberikan perhatian, belajar, mengingat dan berpikir. Kapabilitas ini mempengaruhi siasat si belajar dalam mencari dan menemukan kembali hal-hal yang disimpan dan dalam mengorganisasi respons-responsnya.
Tidak seperti halnya informasi verbal dan ketrampilan intelek, yang ada kaitannya langsung dengan isi, obyek siasat kognitif ialah proses berfikir pelajar sendiri. Ciri yang penting yang lain siasat kognitif ialah bahwa tidak seperti halnya ketrampilan intelek, siasat itu tidak terpengaruh secara kritis oleh pelaksanaan pembelajaran, menit demi menit. Kebalikannya, siasat kognitif itu terbentuk dalam jangka waktu yang nisbi lama. Ketrampilan siasat kognitif sampai derajat tertentu dapat di kembangkan menjadi lebih baik dengan pendidikan formal, dan orang menjadi pelajar dengan belajar sendiri dan pemikir yang mandiri.
Orang yang mampu mengatur dan mengarahkan aktivitas mentalnya sendiri di bidang kognitif, akan jauh lebih efesien dan efektif dalam mempergunakan semua konsep dan kaidah yang pernah dipelajari, dibandingkan dengan orang yang tidak berkemampuan demikian.
Contoh; prakarsa OSIS akan siselelnggarakan malam kesenian. Sekelompok orang diberi tugas mencari dana tambahan untuk menyelenggarakan kegiatan tersebut. Panitia pencri dana ini akan mengadakan rapat untuk menentukan bagaimana cara bagaimana dana tambahan itu dapat dicari. Dengan demikian kelompok siswa itu mengatur dan mengarahkan kegiatan kognitifnya sendiri dalam menghadapai problem pencarian dana.
2.      Motor Skills (keterampilan motorik)
Ialah kapabilitas yang mendasari pelaksanaan perbuatan jasmaniah secara mulus. Termasuk disini ialah ketrampilan-ketrampilan sederhana yang dipelajari orang pada awal usianya, seperti memakai baju dan mengeluarkan suara tutur yang disampaikan. Ditahun-tahun permulaan sekolah, ketrampilan motor yang paling penting, misalnya menulis huruf-huruf dan mengambar lambang-lambang, bermain lompat tali, mengatur keseimbangan badan ketika bermain jalan di palang. Di kemudian hari ketrampilan gerak meliputi contoh belajar mengusai ketrampilan-ketrampialan yang berpisah-pisah dalam kegiatan seperti bermain tennis, bola basket dan olah raga lainnya.
Ciri umum dari semua ketrampilan ini adalah adanya persyaratan untuk mengembangkan kemulusan bertindak, presisi dan pengaturan waktu. Untuk perbuatan orang yang baru bisa dan ahli berbeda dalam hal cirri-ciri itu.
Sifat istimewa dari ketrampilan motorik ialah bahwa ketrampilan ini bisa bertambah sempurna melalui praktek atau dilatihkan. Syaratnya ialah pengulangan-pengulangan gerak dasar disertai balikan dari lingkungan. Dengan cara ini si belajar mengenal pengisyarat kinestetik yang memberi tanda-tanda isyarat untuk membedakan performansi yang tidak tepat dari yang tidak mengandung kesalahan.
3.      Attitude (sikap-sikap)
Ialah kapabilitas yang mempengaruhi pilihan tentang tindakan mana yang diambil, akan tetapi ciri-ciri yang penting adalah bahwa sikap tidak menentukan apa tindakan khusus tertentu yang akan diambil. Alih-alih, sikap hanya menentukan lebih kurang adanya kemungkinan suatu kelas tindakan tertentu akan dilakukan. Misalnya, siswa mengembangkan sikap baca buku atau pembuatan benda-benda seni. Belajar memperoleh sikap didasarkan atas informasi tentang tindakan-tindakan apa yang mungkin dilakukan dan apa akibatanya.
Orang yang bersikap tertentu, cenderung menerima atau menolah suatu obyek berdasarkan penilaian terhadap obyek itu, berguna/berharga baginya atau tidak. Bila obyek dinilai ”baik untuk saya” di mempunyai sikap positif, bila obyek dinilai ”jelek untuk saya” dia mempunyai sikap negatif. Misalnya, siswa yang memandang belajar dsi sekolah sebagai sesuatu yang bermanfaat baginya, memiliki sikap yang posifif terhadap belajar di sekolah, dan sebaliknya kalau siswa memandang belajar di sekolah sebagai sesuatu yang tidak berguna. 
3.    Kondisi atau Tipe Pembelajaran
Ada delapan kondisi atau tipe pembelajaran:
1.      Signal learning (belajar isyarat)
Belajar isyarat merupakan proses belajar melalui pengalaman-pengalaman menerima suatu isyarat tertentu untuk melakukan tindakan tertentu. Misalnya ada “Aba-aba siap” merupakan isyarat untuk mengambil sikap tertentu, tersenyum merupakan isyarat perasaan senang.
2.      Stimulus-response learning (belajar melalui stimulus-respon)
Belajar stimulus-respon (S-R), merupakan belajar atau respon tertentu yang diakibatkan oleh suatu stimulus tertentu. Melalui pengalaman yang berulang-ulang dengan stimulus tertentu sesorang akan memberikan respon yang cepat sebagai akibat stimulus tersebut.
3.      Chaining (rantai atau rangkaian)
Chaining atau rangkaian, terbentuk dari hubungan beberapa S-R, oleh sebab yang satu terjadi segera setelah yang satu lagi. Misalnya : Pulang kantor, ganti baju, makan, istirahat.
4.      Verbal association (asosiasi verbal)
Mengenal suatu bentuk-bentuk tertentu dan menghubungkan bentuk-bentuk rangkaian verbal tertentu. Misalnya : seseorang mengenal bentuk geometris, bujur sangkar, jajaran genjang, bola dlsbnya. Lalu merangkai itu menajdi suatu pengetahuan geometris, sehingga seseorang dapat mengenal bola yang bulat, kotak yang bujur sangkar.
5.      Discrimination learning (belajar diskriminasi)
Belajar diskriminasi adalah dapat membedakan sesuatu dengan sesuatu yang lainnya, dapat membedakan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya walaupun bentuk manusia hampir sama, dapat membedakan merk sepeda motor satu dengan yang lainnya walaupun bentuknya sama. Kemampuan diskriminasi ini tidak terlepas dari jaringan, kadang-kadang jika jaringan yang terlalu besar dapat mengakibatkan interferensi atau tidak mampu membedakan.
6.      Concept learning (belajar konsep)
Belajar konsep mungkin karena kesanggupan manusia untuk mengadakan representasi internal tentang dunia sekitarnya dengan menggunakan bahasa. Mungkin juga binatang bisa melakukan tetapi sangat terbatas, manusia dapat melakukan tanpa terbatas berkat bahasa dan kemampuan mengabstraksi. Dengan menguasai konsep ia dapat menggolongkan dunia sekitarnya menurut konsep itu misalnya : warna, bentuk, jumlah dllnya
7.      Rule learning (belajar aturan)
Belajar model ini banyak diterapkan di sekolah, banyak aturan yang perlu diketahui oleh setiap orang yang telah mengenyam pendidikan. Misalnya : angin berembus dari tekanan tinggi ke tekanan rendah, 1 + 1 = 2 dan lainnya. Suatu aturan dapat diberikan contoh-contoh yang konkrit.
8.      Problem solving (memecahkan masalah)
Memecahkan masalah merupakan suatu pekerjaan yang biasa yang dilakukan manusia. Setiap hari dia melakukan problem solving bayak sekali. Untuk memecahkan masalah dia harus memiliki aturan-aturan atau pengetahuan dan pengalaman, melalui pengetahuan aturan-aturan inilah dia dapat melakukan keputusan untuk memecahkan suatu persoalan. Seseorang harus memiliki konsep-konsep, aturan-aturan dan memiliki “sets” untuk memecahkannya dan suatu strategi untuk memberikan arah kepada pemikirannya agar ia produktif.
4.    Peristiwa-peristiwa Pembelajaran
Apakah yang terjadi dalam mengajar? Mengajar dapat kita pandang sebagai usaha mengontrol kondisi ekstern. Kondisi ekstern merupakan satu bagian dari proses belajar, namun termasuk tugas guru yang utama dalam mengajar.
Mengajar terdiri dari sejumlah kejadian-kejadian tertentu yang menurut Gagne terkenal dengan “Nine instructional events” atau Sembilan kondisi intruksional yang dapat diuraikan sebagai berikut :
1.    Gain attention (memelihara perhatian)
Dengan stimulus ekster kita berusaha membangkitkan perhatian dan motivasi siswa untuk belajar.
2.    Inform learners of objectives (penjelasan tujuan pembelajaran)
Menjelaskan kepada murid tujuan dan hasil apa yang diharapkan setelah belajar. Ini dilakukan dengan komunikasi verbal.
3.    Stimulate recall of prior learning (merangsang murid)
Merangsang murid untuk mengingat kembali konsep, aturan dan keterampilan yang merupakan prasyarat agar memahami pelajaran yang akan diberikan.
4.    Present the content (menyajikan stimulus)
Menyajikan stimuli yang berkenaan dengan bahan pelajaran sehingga murid menjadi lebih siap menerima pelajaran.
5.    Provide "learning guidance" (memberikan bimbingan)
Memberikan bimbingan kepada murid dalam proses belajar
6.    Elicit performance /practice (pemantapan apa yang dipelajari)
Memantapkan apa yang dipelajari dengan memberikan latihan-latihan untuk menerapkan apa yang telah dipelajari itu.
7.    Provide feedback (memberikan feedback)
Memberikan feedback atau balikan dengan memberitahukan kepada murid apakah hasil belajarnya benar atau tidak.
8.    Assess performance (menilai hasil belajar)
Menilai hasil-belajar dengan memberikan kesempatan kepada murid untuk mengetahui apakah ia telah benar menguasai bahan pelajaran itu dengan memberikan beberapa soal.
9.    Enhance retention and transfer to the job (mengusahakan transfer)
Mengusahakan transfer dengan memberikan contoh-contoh tambahan untuk menggeneralisasi apa yang telah dipelajari itu sehingga ia dapat menggunakannya dalam situasi-situasi lain.
Dalam mengajar hal di atas dapat terjadi sebagian atau semuanya, Proses belajar sendiri terjadi antara peristiwa nomor 5 dan 6. Peristiwa-peristiwa itu digerakkan dan diatur dengan perantaraan komunikasi verbal yakni guru mengatakan kepada murid apa yang harus dilakukannya







BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
Belajar adalah sebuah proses perubahan di dalam kepribadian manusia dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman, ketrampilan, daya pikir, dan kemampuan-kemampuan yang lain.
Teori Belajar Sosial , Teori ini dikembangkan oleh Albert Bandura seorang ahli psikologi pendidikan dari Stanford University,USA. Teori pembelajaran ini dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana seseorang mengalami pembelajaran dalam lingkungan sekitarnya. Pendekatan teori belajar sosial lebih ditekankan pada perlunya conditioning(pembiasaan merespon) dan imitation (peniruan). Selain itu pendekatan belajar sosial menekankan pentingnya penelitian empiris dalam mempelajari perkembangan anak-anak. Penelitian ini berfokus pada proses yang menjelaskan perkembangan anak, faktor sosial dan kognitif.
Teori Gagne menyatakan bahwa belajar bukan merupakan proses tunggal melainkan proses luas yang dibentuk oleh pertumbuhan dan perkembangan tingkah laku. Menurut Gagne (Bell Greder, 1991) belajar merupakan kegiatan yang kompleks. Hasil belajar berupa kapabilitas. Setelah belajar seseorang memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai. Gagne membedakan lima kategori belajar dilihat dari hasil belajar yang dapat dicapainya. Ia juga mengemukakan delapan persyaratan belajar, sedangkan kejadian belajar menempuh delapan fase kegiatan yang berurutan sehingga membentuk mata rantai kejadian external dan internal.

3.2 Saran
            Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan selanjutnya. Diharapkan pula pembaca dan ibu bapak dosen dapat menambah wawasan dari berbagai sumber lain terkait dengan materi ini.

Komentar

Postingan Populer